Tarian Pepe-pepeka ri Makka; Diwariskan Secara Turun-temurun, Pentas Hingga Gedung Putih

Pertunjukan tarian tradisional Makassar, pepe-pepeka ri Makka.

PRIA setengah baya itu, hanya bisa pasrah ketika beberapa orang berpakaian adat Bugis-Makassar menyodorkan obor yang terbakar api ke sekujur tubuhnya. Sementara, dua di antaranya memegangi kedua tangan pria tersebut. Diiringi alunan alat-alat musik tradisional dan lantunan irama mendayu, si pria tersebut berusaha tegar ketika obor-obor tersebut semakin mendekat ke tubuhnya. Raut wajahnya diliputi ketegangan. Namun anehnya, api tersebut tidak sampai membakar tubuhnya. Bahkan, ia tak merasakan panas sama sekali.

Potongan adegan tersebut merupakan salah satu atraksi pertunjukan tarian pepe-pepeka ri Makka yang kerap dipentaskan saat menyambut tamu-tamu yang berkunjung di Makassar. Dari namanya, pepe-pepeka ri Makka berarti api dari Mekkah.

“Saya tak tahu secara pasti kapan tarian pepe-pepeka ri Makka ini mulai dimainkan. Konon, tari-tarian ini awalnya dimainkan oleh para wali-wali di Sulawesi sebagai wadah menyebarkan agama Islam di masa lampau. Sampai sekarang, diwariskan secara turun-temurun,” ungkap Muh. Said, salah seorang pemain tarian pepe-pepeka ri Makka, kepada penulis, usai pementasan pada sebuah kesempatan.

Menurutnya, tarian ini berkisah tentang penyebaran Islam yang berawal dari Mekkah, kemudian berkembang di Madinah hingga tersebar ke seluruh dunia.

“Api disimbolkan sebagai agama Islam yang merupakan sumber cahaya yang berasal dari Mekkah, sementara obor bermakna perkembangan Islam di Madinah. Syair yang mengiringi tarian ini pun mengandung makna syiar Islam dan do’a di mana mengingatkan ketika Nabi Ibrahim atas kuasa Allah Swt. tidak terbakar api sedikit pun saat dibakar hidup-hidup oleh umatnya yang kafir,” imbuh Said.

Dalam mementaskan tarian ini, yang biasanya dimainkan 6 sampai 14 orang, tidak dilakukan sembarangan. Para pemain harus dalam keadaan suci, baik suci dalam keadaan fisik maupun suci dalam hati.

“Sebelum mementaskan tarian pepe-pepeka ri Makka, penari harus dalam keadaan suci dengan berwudhu dan menyatukan niatnya. Sebab, jika tidak, bisa saja pertunjukan berakibat yang tidak diinginkan, seperti penari terbakar,” jelas Said.

Kesesuaian antara syair, gerakan dan musik serta kekompakan para pemain juga merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan. Sementara, ihwal orang di luar penari yang tidak terbakar api, Said menuturkan, bahwa energi sang penari disalurkan ke orang tersebut.

“Oleh sebab itu, antara si penari dan orang di luar penari harus bersinggungan badan,” imbuhnya.

Karena bersifat sakral, tak sembarang orang yang bisa mementaskan tarian ini. Para penari harus mempunyai hubungan pertalian darah.

“Kami di sini semuanya keluarga dan merupakan generasi ke tujuh. Di Paropo, hanya ada dua sanggar tarian pepe-pepeka ri Makka, yaitu Sanggar Remaja Paropo dan Sanggar Ilolo Gading,” kata Said.

Go International

Menariknya, tak hanya dipentaskan secara nasional, tarian pepe-pepeka ri Makka ini bahkan beberapa kali pentas di tingkat internasional. Di antaranya dipentaskan pada pameran dagang di Seoul, Korea Selatan, pada penganugerahan gelar kepahlawanan Syekh Yusuf di Afrika Selatan, dipentaskan di Jepang, Singapura hingga di Gedung Putih, Amerika Serikat.

“Saat dipentaskan di Gedung Putih Amerika, beberapa penarinya yaitu H. Pawa, Dg. Juma, Ismail, dan almarhum Daeng Mone,” kilah Dg. Naba (83 tahun) salah satu penari tarian pepe-pepeka ri Makka.

Di tingkat nasional, lanjut Dg. Naba, tarian pepe-pepeka ri Makka juga sempat dipentaskan di Senayan, Jakarta pada tahun 1978, Borobudur, Yogyakarta tahun 1983, Bali tahun 1990, Festival Istiqlal, Jakarta tahun 1991 serta pembukaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di tahun 1994.

“Untuk lokal, biasanya kami dipanggil mentas saat acara-acara tertentu, seperti pernikahan, acara-acara festival, syukuran serta penyambutan-penyambutan tamu,” tutup Said. [Sapriadi Pallawalino/Foto: int]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar