Perpustakaan dan Arsip Daerah Wajo di Pekan Perpustakaan Nasional

Tampilkan Naskah-naskah Kuno, Dikagumi Pengunjung asal Korea

Pekan Perpustakaan Nasional yang digelar di Mall Ratu Indah (MaRI) Makassar berakhir, Minggu 21 Maret lalu. Pameran yang dimulai sejak Rabu, 17 Maret merupakan pameran perpustakaan nasional pertama di Indonesia. Pameran yang dibuka oleh Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo itu dihadiri beberapa perpustakaan dari beberapa provinsi, seperti Banda Aceh, Belitung, Riau, NTB dan daerah lainnya.

Selain itu, beberapa perpustakaan kabupaten kota di Sulsel pun turut serta pada Pekan Perpustakaan Nasional tersebut, antara lain Sidrap, Selayar, Bone, Wajo, Toraja Utara, dan beberapa perpustakaan institusi di Kota Makassar.

Petugas perpustakaan dan arsip daerah Kabupaten Wajo, Gazali, mengungkapkan, sangat merespon penyelenggaraan Pekan Perpustakaan Nasional tersebut. Menurutnya, kegiatan ini menjadi momen mengangkat budaya-budaya lokal yang ada di daerah-daerah.

“Ini sejalan dengan misi pemkab Wajo. Pameran ini menjadi kesempatan untuk memperkenalkan kebudayaan Wajo keluar,” jelas Kasi Pelayanan Informasi Pustaka pada kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Wajo ini, Sabtu, 20 Maret lalu.

Dalam pameran itu, perpustakaan Wajo menampilkan beberapa naskah-naskah kuno, manuskrip, pesan-pesan leluhur, serta buku-buku seputar sejarah di Wajo yang diterbitkan oleh penulis lokal. Di antaranya Bicaranna La Toa, Sure Galigo Bottinna Aji Laide ri Luwu, buku Sejarah dan Perjuangan Lamaddukelleng, Membongkar Halaman Sejarah, Lontarak Akkarungeng, dan makalah Saro Mase.

Staf Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Wajo, Sudirman Sabang, menambahkan, bahwa keberadaan perpustakaan daerah Wajo di Pekan Perpustakaan Nasional tersebut cukup menarik minat pengunjung. Salah satunya, mahasiswa asal Korea yang saat ini tugas belajar di Unhas, Cho Tae Young.

“Dia mengaku sangat terkesan dengan naskah-naskah kuno dan kebudayaan-kebudayaan lokal. Selain itu, Gubernur bersama Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Sulsel, Ama Saing, juga menyempatkan berkunjung di stan Wajo,” pungkas Sudirman yang ditugaskan pada pameran tersebut.

Kepala Kantor Perpustakaan Arsip dan Daerah Dra. Hj. Putri Anong, Kasubag TU Sulaiman, Kasi Pelayanan Informasi Gazali, Kasi Pengolahan Bahan Pustaka, Hj. Nurdianah S.Pd, dan Kepala Perpustakaan Umum Islamic Centre, Dra. Minayatinah turut serta pada pameran tersebut.[Sapriadi Pallawalino]

Mempertahankan Eksistensi Makassar sebagai Kota Tujuan MICE

Pemerintah Lebih Agresif, EO Harus Lebih Kreatif Dalam kurun lima tahun terakhir, penyelenggaraan MICE di Makassar menggeliat. Tak hanya berskala lokal, MICE berskala Internasional pun banyak digelar di Kota Anging Mammiri ini. -------------------------
Mengembangkan sektor pariwisata, kini tak lagi sekadar bertumpu pada paket liburan. Maraknya penyelenggaraan meeting, incentives, convention dan exhibition memunculkan semangat baru promosi wisata. Di beberapa tempat, penyelenggaraan MICE menjadi penggerak utama roda pariwisata sekaligus memberi sumbangsih bagi daerah penyelenggara. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, Anggiat Sinaga, tak memungkiri kalau selama lima tahun terakhir, tingkat hunian hotel-hotel di Makassar didominasi oleh peserta MICE. Baik penyelenggaraan MICE dari segmen government lokal, maupun dari pasar-pasar nasional dan internasional. “Dalam kurun lima tahun terakhir, sekitar 55 persen dari tingkat hunian hotel memang didominasi dari kalangan peserta MICE. Umumnya berasal dari segmen government, dan sisanya dari pasar-pasar nasional dan internasional,” jelas Anggiat, kepada Supershop Magazine, Jum’at 5 Maret lalu. Tren positif itu, lanjut General Manager Clarion Hotel and Convention ini, ditunjang beberapa faktor yang sangat mendukung penyelenggaraan MICE di Makassar. Antara lain dukungan infrastruktur yang memadai, ketersediaan pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan yang lengkap, kuliner serta dukungan masyarakat setempat. “Jadi, secara instrumen, saya rasa Makassar cukup lengkap untuk penyelenggaraan MICE, mulai dari bandara berskala internasional, jalan tol, gedung Celebes Convention Center, ketersediaan 4.235 kamar dari 80 hotel serta banyaknya mal-mal yang ada di kota ini. Selain itu, kuliner yang mendukung dan kehadiran Trans Studio menjadi nilai tambah Makassar sebagai tuan rumah penyelenggaraan MICE,” tutur Anggiat. Di samping itu, kata dia, adanya dukungan dan kemudahan akomodasi dari Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar, juga menjadi salah satu faktor pendukung maraknya penyelenggaraan MICE di Makassar. “Nah, sekarang yang dibutuhkan adalah bagaimana Pemerintah bisa lebih agresif dalam mendorong penyelenggaraan MICE. Salah satunya adalah dengan adanya political will dari Pemerintah melalui sesuatu yang nyata. Misalnya, berani memberikan stimulus dan insentif bagi pelaku event organizer, sehingga mereka bisa lebih intens lagi menjual dan mempromosikan nama Makassar di luar,” jelas Anggiat. Khusus di bidang perhotelan, jelasnya, saat ini beberapa hotel di Makassar sementara melakukan penambahan fasilitas meeting room untuk mendukung kegiatan MICE. “Selain itu, operator perhotelan di Makassar juga menawarkan harga yang lebih kompetitif dibanding di daerah-daerah lain. Kita berusaha mengejar volume dengan menawarkan harga yang tidak terlalu tinggi,” tandas Anggiat. Lebih Kreatif Senada dengan Anggiat Sinaga, President Director PT. Debindo Mega Promo, Jeffrey Eugene T, mengakui kalau dalam kurun lima tahun terakhir, geliat penyelenggaraan MICE di Makassar memperlihatkan tren positif. Menurut dia, dalam rentang antara 2006 hingga 2009, penyelenggaraan MICE mengalami pertumbuhan tiap tahun berkisar 30 sampai 40 persen. “Sebagai event organizer, kita memang ingin menghidupkan industri MICE di Makassar. Makanya, beberapa tahun lalu kami sepakat mendorong Pemprov Sulsel untuk menyediakan venue berupa convention hall yang memadai, yakni gedung Celebes Convention Centre yang ada saat ini. Sehingga, ini memudahkan EO untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan MICE di Makassar,” ujar Jeffrey, saat ditemui di kantornya, Kamis 4 Maret lalu. Namun, Sekretaris Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (Asperapi) Sulsel ini menilai, penyelenggaraan MICE belakangan ini cenderung stagnan. Dibandingkan daerah lain, Sulsel belum mempunyai even tetap dan rutin yang dilaksanakan setiap tahun. Umumnya, EO di Makassar juga masih sebatas pelaksana even (by order), tetapi tidak menciptakan even (by created). “Oleh karena itu, teman-teman EO sekarang ditantang untuk lebih kreatif dengan menggalakkan even by created secara rutin dan berkelanjutan melalui kerjasama dengan asosiasi-asosiasi maupun dengan pemerintah serta mampu menjualnya hingga ke dunia Internasional. Sehingga, even tersebut setidaknya mampu mengundang ekshibitor dan investor ke Makassar dan membuka peluang investasi di Sulsel,” tegas Jeffrey, yang juga Wakil Ketua Indonesia Congress and Convention Association (INCCA) Sulsel. Ke depan, ia optimis industri MICE di Sulsel memiliki prospek yang bagus dan peluang untuk berkembang. “Sekarang sisa bagaimana kita menggali potensi Makassar dan Sulsel melalui diferensiasi tema MICE yang lebih variatif. Menumbuhkan industri MICE, juga mesti dilakukan secara integratif dengan menggandeng tiga hal, yakni trading, tourism dan investment dengan berbasis masyarakat,” kunci Jeffrey. [Sapriadi Pallawalino/Foto: int]

Toko Roti Dona Dony

Berawal dari Hobi, Pelopor Travelling Service

Menjadikan hobi sebagai lahan bisnis bukan hal mustahil. Malah, selain menyalurkan kesenangan, juga dapat meraup profit yang menjanjikan.

---------------------------------------------------

Berawal dari hobi membuat aneka kue dan roti, Ang Hoa Suan (54 tahun) mencoba mengadu peruntungan dengan berjualan roti. Tahun 1992, ia mulai merintis usahanya dengan membuka kedai roti di rumahnya di bilangan Jln. Tekukur. Meski serba sederhana dengan jumlah produksi dalam skala kecil, namun perlahan roti buatan Ang Hoa Suan mulai dikenal warga Makassar pada saat itu.

Melalui mulut ke mulut, kedai roti Suan yang diberi nama Dona Dony pun mulai ramai dikunjungi para pembeli. Melihat prospek cerah tersebut, ia kemudian berpikir untuk menjajakan roti buatannya di tempat yang lebih lapang dan strategis. Sekitar tahun 1997, ia memilih lokasi berjualan di bilangan ruas Jln. Cenderawasih. Aneka roti yang ditawarkan, antara lain roti tawar, roti balok, roti isi cokelat, roti isi keju dan roti isi sosis.

“Dari awal, ibu memang hobi membuat kue-kue dan roti. Karena keadaan ekonomi keluarga yang mendesak ketika itu, ibu kemudian memilih membuka kedai roti untuk membantu biaya hidup sehari-hari,” kisah Deril Tunggal, putra Ang Hoa Suan kepada Pecinan Terkini, Selasa 22 Februari lalu.

Bahkan, di tahun 1996, Dona Dony menjadi pelopor penjualan roti dengan sistem traveling service, yakni penggunaan mobil keliling untuk menjajakan roti. Strategi ini pun membuat nama Dona Dony semakin berkibar dan dikenal masyarakat luas.

Delapan belas tahun berjalan, Toko Roti Dona Dony tetap mampu eksis meski beberapa perusahaan roti bermunculan di ranah Makassar. Dengan proses produksi alat-alat yang lebih modern, Roti Dona Dony mampu memproduksi aneka roti dalam jumlah yang banyak setiap harinya. Selain di Jln. Cenderawasih, Dona Dony juga membuka cabang di bilangan Jln. Landak.

Pelanggannya pun tak sebatas warga Makassar lagi, namun juga dari beberapa daerah di luar Makassar. “Persaingan sekarang memang ketat dibanding beberapa tahun lalu. Namun, dengan terus berinovasi dan tetap menjaga kualitas, kami optimis tetap mampu bertahan,” ujar Deril, yang kini dipercayakan mengelola Toko Roti Dona Dony.

Di bawah kendalinya, Deril mencoba lebih mempromosikan lagi Toko Roti Dona Dony ke masyarakat luas. Ke depan, kata pria kelahiran Makassar, 12 Januari 1989 ini, dia berencana untuk mengembangkan toko rotinya ke beberapa daerah. “Terus terang, nama Dona Dony yang sudah familiar di telinga masyarakat menjadi keuntungan tersendiri dalam hal promosi. Namun ke depan, saya juga berencana untuk mengembangkan dengan membuka cabang-cabang di daerah,” ujarnya.

Terinspirasi Piala Dunia

Berkaitan dengan nama Dona Dony, Deryl mengisahkan bahwa pemilihan nama itu hanya kebetulan. Nama itu diambil dari nama belakang salah seorang pemain Italia pada Piala Dunia 1992, Roberto Donadoni. “Waktu ibu baru membuka kedai kue, bertepatan dengan pagelaran Piala Dunia. Kemudian tercetus ide dari Bapak memilih nama Donadoni saat sedang menonton, dan tetap dipakai hingga sekarang,” tandasnya. [Sapriadi Pallawalino]

Warna-warni Imlek 2010

Imlek, semakin membumi. Tak hanya warga Tionghoa, masyarakat lainnya pun turut larut dalam kemeriahan Imlek yang digelar sepanjang Februari lalu.

--------------------------

Sejatinya, Imlek merupakan perayaan tahun baru etnis Tionghoa. Namun, seiring pembauran dan kebebasan perayaan Imlek secara terbuka oleh mantan Presiden RI ke-4, alm. K. H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, kemeriahan Imlek pun dapat dirasakan masyarakat umum. Nuansa dan aneka pernak-pernik Imlek tiap tahun tak lagi sebatas menghiasi klenteng dan vihara, tetapi juga tempat-tempat umum lainnya, seperti pusat perbelanjaan, hotel-hotel, tempat-tempat hiburan dan sebagainya.

From China with Love

Jauh-jauh hari sebelum perayaan Imlek yang jatuh pada Minggu, 14 Februari lalu, nuansa Imlek sudah terasa di beberapa pusat perbelanjaan. Berbagai pernak-pernik khas Imlek yang kental dengan nuansa merah dipasang di tiap-tiap sudut mal-mal di Makassar, antara lain hiasan lampion dan naga, boneka macan, spanduk ucapan Gong Xi Fa Cai, hingga kostum khas Tionghoa.

Salah satunya, di Mal GTC Tanjung Bunga. Dua minggu sebelum Imlek, pengelola sudah mendekorasi tiap sudut mal dengan aneka pernak-pernik Imlek. Berbagai kegiatan bernuansa Imlek pun mereka gelar, mulai dari pemilihan koko dan cici cilik, pemilihan model cilik Valentine, lomba mewarnai dan menggambar yang diikuti member GTC Kids hingga atraksi barongsai cilik dari Vihara Girinaga.

“Karena tahun ini Imlek bertepatan dengan Valentine Day, maka keduanya kami kemas dalam satu rangkaian acara bertemakan From China with Love. Para member GTC Kids pun meramaikannya dengan berbagi coklat kepada pengunjung,” jelas Wina, Public Relation Mal GTC, kepada Pecinan Terkini saat ditemui pertengahan Februari lalu.

Di samping rangkaian kegiatan tersebut, imbuh Wina, pada 20 – 21 Maret mendatang pengelola Mal GTC bekerjasama dengan Persatuan Seni Olahraga Barongsai Indonesia (Persobarin) juga akan menggelar kejuaraan barongsai yang diikuti oleh perkumpulan-perkumpulan barongsai dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya, peserta dari Tarakan yang menjadi runner up pada lomba barongsai di Tiongkok, belum lama ini.

“Awalnya sich kami rencanakan menggelar bertepatan dengan momen Imlek. Namun karena beberapa perkumpulan barongsai banyak yang terlibat dalam kegiatan perayaan Imlek dan Cap Go Meh, makanya diundur hingga Maret. Pesertanya pun berasal dari berbagai kota, antara lain Jakarta, Surabaya, dan Tarakan,” beber Wina.

Legenda Cinta Lie dan Lian

Nuansa Imlek juga terasa di taman bermain indoor, Trans Studio. Berbagai pertunjukan khas Tiongkok ditampilkan kepada pengunjung setiap harinya, di antaranya festival Lampion, atraksi barongsai hingga drama musikal Legenda Cinta Lie dan Lian. Selain itu, tiap Sabtu dan Minggu, pengelola Trans Studio juga menghadirkan artis-artis ibukota untuk menghibur akhir pekan pengunjung.

Drama musikal Legenda Cinta Lie dan Lian berkisah tentang seorang putri raja bernama Lian yang nekat meninggalkan istana untuk belajar ilmu kungfu. Secara tak sengaja, ia bertemu dengan Lie, seorang pendekar kungfu dari perguruan Macan Terbang, yang kemudian menjadi gurunya. Namun, sang raja Fei Lung sangat murka ketika mengetahui putrinya berlatih kungfu di perguruan Macan Terbang. Beberapa pendekar kungfu yang telah dipilih sang raja untuk mendampingi putrinya, ternyata tidak mampu memikat hati dan mengalahkan ilmu kungfu sang putri.

Sang raja pun pasrah dan menyerahkan sepenuhnya pilihan kepada putrinya. Hingga kemudian, Lie yang menyamar berhasil menandingi ilmu kungfu sang putri dan menaklukkan hatinya.

“Pertunjukan yang bagus. Saya sendiri tidak menyangka mereka bisa tampil sebagus itu. Ini merupakan drama musikal terbaik Imlek yang pernah digelar di Makassar,” puji Eka Firman, Direktur Trans Kalla usai pertunjukan perdana drama musikal Legenda Cinta Lie dan Lian, kepada wartawan awal Februari lalu.

Menariknya, pemerannya pun oleh anak-anak Makassar dengan koreografer yang didatangkan dari Jakarta. “Memang, untuk penampilam drama musikal, mereka mempersiapkan diri dengan berlatih selama dua minggu,” imbuh Eka, didampingi Media Relation Officer Trans Kalla, Emma Wardhany.

Doa dan Harapan

Malam menjelang pergantian tahun baru Imlek, Sabtu, 13 Februari lalu, sekitar jam 23.00, umat Tridharma mulai memadati Jln. Sulawesi. Bersama dengan keluarga, mereka melakukan ritual sembahyang dengan memanjatkan doa dan harapannya untuk mengarungi Tahun Macan ke depan. Tiga tempat ibadah, yakni Klenteng Kwan Kong, Klenteng Xian Ma dan Vihara Ibu Agung Bahari dipadati oleh warga Tionghoa dan ratusan masyarakat lainnya untuk menyaksikan prosesi ritual malam tahun baru Imlek.

Tepat jam 00.00, atau bertepatan dengan tanggal 1 bulan 1 penanggalan Imlek, suasana makin semarak dengan atraksi barongsai yang ditampilkan para pemain dari Klenteng Xian Ma. Mereka mengawali pertunjukan dengan mengitari setengah ruas Jln. Sulawesi, kemudian di depan Klenteng Xian Ma. Sesekali, dentuman petasan dan semarak kembang api membuat suasana gegap gempita.

Antusiasme warga menyaksikan perayaan tahun baru Imlek malam itu sempat memacetkan Jln. Sulawesi. Beberapa aparat kepolisian yang diturunkan untuk pengamanan perayaan tahun baru Imlek, tampak sibuk mengatur arus lalu lintas di Jln. Sulawesi.

Menjelang jam 02.00 dinihari, umat Tridharma yang telah selesai melakukan ritual sembahyang pun perlahan meninggalkan tempat-tempat ibadah, beringsut ke rumah masing-masing dengan secercah doa dan harapan untuk hidup yang lebih baik dalam naungan Tahun Macan. [Sapriadi Pallawalino]

Sui Mo Zhu Fu, Syukuran Akhir Tahun untuk Kemanusiaan

-->
Membantu sesama, tak harus mengeluarkan dana berlimpah sekaligus. Sekumpulan uang receh pun, bisa menjadi cukup berarti bagi masyarakat yang membutuhkan.
----------------------------------------
Menjelang Tahun Baru Imlek 2561 lalu, sekitar 200-an anggota Yayasan Buddha Tzu Chi Makassar menggelar prosesi Sui Mo Zhu Fu, yakni syukuran akhir tahun. Prosesi ini merupakan wujud syukur atas keberhasilan melalui satu tahun tanpa ada hambatan serta menjadi titik awal memperbarui diri untuk mengarungi satu tahun ke depan dengan kehidupan yang lebih baik.
Berbeda dengan perayaan Imlek yang dilaksanakan mulai tanggal 1 bulan 1 hingga tanggal 15 bulan 1 penanggalan Imlek, prosesi Sui Mo Zhu Fu dilakukan mulai tanggal 15 – 30 bulan 12 penanggalan Imlek. “Sui Mo Zhu Fu merupakan tradisi syukuran akhir tahun di kalangan Yayasan Buddha Tzu Chi. Selain sebagai ungkapan rasa syukur, Sui Mo Zhu Fu juga memberi kesempatan bagi anggota Yayasan Buddha Tzu Chi untuk menyumbangkan dananya bagi kegiatan-kegiatan kemanusiaan,” jelas Arifin Tezen, salah seorang anggota Yayasan Buddha Tzu Chi, Selasa 22 Februari lalu.
Pengumpulan dana tersebut, lanjut Arifin, dilakukan dengan cara menuangkan uang receh dari celengan bambu berdiameter sekitar 7 cm dengan tinggi sekitar 40 cm ke dalam sebuah wadah yang juga terbuat dari bilah bambu panjang. “Uang dari celengan bambu itu merupakan tabungan dari anggota Yayasan Buddha Tzu Chi yang memang diperuntukkan untuk bantuan kemanusiaan. Meskipun jumlah tiap celengan terbilang tidak banyak, tetapi jika dikumpulkan dengan dana lain dari celengan anggota lain, maka bisa mendanai beberapa kegiatan kemanusiaan yang dilakukan Yayasan Buddha Tzu Chi,” ujar Arifin.
Pengumpulan dana dari celengan tidak mesti dilakukan pada akhir tahun, namun kapan saja dana yang terkumpul bisa disetor di kantor Yayasan Buddha Tzu Chi. “Kalau celengan sudah penuh, maka dana yang terkumpul bisa disetor langsung di kantor. Namun jelang tutup tahun, sudah menjadi tradisi untuk melakukan pengumpulan dana secara bersama-sama anggota Yayasan Buddha Tzu Chi,” imbuhnya.
Menurut Arifin, tradisi Sui Mo Zhu Fu ini berawal sekitar 40 tahun yang lalu di Taiwan. Suatu hari, seorang bikkhuni bersama beberapa pengikutnya datang ke suatu balai pengobatan di Fenglin untuk mengunjungi salah seorang umat yang menjalani operasi akibat pendarahan lambung. Ketika keluar dari kamar pasien, dia melihat bercak darah di atas lantai tetapi tidak tampak adanya pasien. Dari informasi yang didapat diketahui bahwa darah tersebut milik seorang wanita penduduk asli asal Gunung Fengbin yang mengalami keguguran. Karena tidak mampu membayar NT$ 8.000 (sekitar Rp 2,4 juta), wanita tersebut tidak bisa berobat dan terpaksa harus dibawa pulang.
Kondisi miris itu menyentuh hati sang bikkhuni yang kemudian mengajak ibu-ibu rumah tangga untuk menyisihkan sebagian dananya untuk membantu kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Tradisi itu kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia melalui Yayasan Buddha Tzu Chi.
“Dana yang terkumpul dari celengan bambu tersebut, selanjutnya digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan kemanusiaan, seperti sumbangan bagi korban bencana alam, korban kebakaran, serta membantu biaya pengobatan pasien yang kurang mampu,” sebut Arifin.
Bantuan kemanusiaan tersebut, juga tidak terbatas pada kalangan umat Buddha saja, tetapi bagi semua agama. “Siapa saja yang membutuhkan pertolongan, kita bantu melalui bantuan kemanusiaan Yayasan Buddha Tzu Chi, tak terkecuali pemeluk agama lain. Sebab, selain dana yang terkumpul dari celengan tersebut, kami juga memiliki beberapa donatur yang setiap saat siap membantu. Untuk di Makassar, kita bahkan telah melakukan program Bedah Rumah terhadap sekitar 100 rumah masyarakat kurang mampu tanpa memandang suku, agama dan ras,” tandas Arifin. [Sapriadi Pallawalino/Foto: istimewa]

Hendri Oei, PT. Nathania Furniture

Kepakkan Sayap Bisnis di Makassar

Perkembangan pesat Kota Makassar beberapa tahun terakhir cukup mampu menarik sejumlah investor untuk mengepakkan sayap bisnisnya di Makassar. Salah satunya, Hendri Oei, dari PT. Nathania Furniture. Menurutnya, Makassar sebagai salah satu kota besar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki potensi bisnis yang menjanjikan.

“Makassar merupakan kota besar dengan perkembangan yang pesat. Khusus produk furniture, saya melihat berbagai merek sudah ada di sini. Namun, kami optimis produk-produk kami, seperti Siantano dan Equity bisa diterima oleh masyarakat di Makassar. Sebab, mereka memiliki berbagai kelebihan dari segi design, harga serta kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk pesaing,” ujar Hendri saat ditemui di Restoran Bambuden, akhir Januari lalu.

Hendri mengaku masih asing dengan Makassar. Meski sudah dua kali menginjakkan kaki di Kota Daeng, namun keterbatasan waktu membuatnya tidak sempat menjelajahi lebih jauh kota ini. “Secara sepintas, saya melihat Makassar cukup bagus dengan sejumlah mal yang ada di kota ini. Saya juga terkesan dengan airport yang berskala Internasional,” imbuh pengusaha asal Malang, Jawa Timur ini.

Dikatakan Hendri, bahwa untuk menjalankan bisnis furniture yang dikelolanya, dia telah mempercayakan kepada agen yang menangani wilayah Makassar. “Untuk di Makassar, kami sudah punya agen, dan berharap terus berkembang, khususnya untuk regional Sulawesi. Kami juga sudah membuka showroom di Mall GTC,” tandasnya. [Sapriadi Pallawalino]

Curriculum Vitae

Nama : Hendri Oei

Tempat, tanggal lahir : Kep Riau, 11 Oktober 1972

Istri : Yeni Setyowati

Anak : Sandra, Fely dan Floren

Alamat Kantor : Jln. Tunggul Ametung 179, Singosari, Malang, Jawa Timur