Makam Pangeran Diponegoro
SEKILAS, tak ada yang istimewa dari bangunan seluas 25 meter persegi tersebut. Bahkan, terkesan terhimpit di antara kawasan yang padat permukiman dan pertokoan di Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar.
Di bagian dalam bangunan, terdapat beberapa makam, sebuah bangunan yang berfungsi sebagai aula dengan dua kamar, berhadapan dengan musholla berukuran 6 meter persegi.
Sebuah gapura berasitektur Jawa dengan bentuk simetris berdiri kokoh di bagian depan halaman, yang menjadi akses masuk pengunjung. Tulisan di bagian atas gapura tersebut sekaligus menjadi penanda identitas bangunan kecil yang bersih dan terawat itu.
“Saya sudah sejak tahun 1997 dipercayakan merawat makam beliau (Pangeran Diponegoro) setelah sebelumnya dipercayakan ke ayah saya,” ujar Raden Mas (RM) Muh. Yusuf Saleh, penjaga makam Pangeran Diponegoro yang masih merupakan generasi ke empat, kepada Supershop Magazine, Senin 27 September 2010 lalu.
Menurut lelaki paruh baya tersebut, penjagaan makam ini diwariskan secara turun temurun kepada keturunan Pangeran Diponegoro.
Lazimnya pemakaman umum lainnya, terdapat beberapa batu nisan dengan pepohonan berukuran sedang. Makam Pangeran Diponegoro, yang berdampingan dengan istrinya, Raden Ayu (RA) Ratna Ningsih cukup menonjol dibanding makam lainnya. Makam setinggi dua meter itu dilengkapi cungkup berbentuk bangunan khas Jawa yang bergaya Joglo.
“Total ada 98 makam. Dua makam yang besar merupakan makam Pangeran Diponegoro bersama istrinya, enam makam putra-putrinya, tiga makam pengikutnya serta 87 makam cucu dan cicit beliau,” jelas Muh. Yusuf.
Menurutnya, semasa hidup, Pangeran Diponegoro sempat berwasiat kepada pengikut serta cucu dan cicitnya untuk tidak kembali ke Jawa dan tetap menetap di Makassar.
“Tetapi, setelah masa kemerdekaan, beberapa keturunan beliau sudah banyak yang kembali ke Jawa serta di daerah lainnya. Entah karena pekerjaan maupun karena menuntut ilmu,” imbuhnya.
Sebagai salah satu peninggalan sejarah, makam Pangeran Diponegoro yang juga merupakan salah seorang pahlawan nasional ramai dikunjungi berbagai kalangan, baik para pelajar dan mahasiswa yang melakukan wisata sejarah, peneliti, sejarawan maupun dari kalangan keluarga dan cucu Pangeran Diponegoro.
“Sempat beberapa tahun yang lalu, setiap tanggal 8 Januari keturunan beliau yang tersebar di berbagai daerah berkumpul di Makassar untuk memperingati hari wafat beliau. Sedangkan untuk kalangan instansi pemerintahan, umumnya mereka ziarah pada momen 17 Agustus,” kata Muh. Yusuf.
Untuk perawatan makam, ia mengakui setiap tiga bulan mendapat kucuran dana dari Pemkot. Di samping itu, juga berasal dari dana kotak amal yang ada di kompleks makam. “Jadi pengunjung tidak dipungut bayaran. Mereka hanya mengisi kotak amal secara sukarela,” tandasnya.
Perjuangan Pangeran Diponegoro
Menurut Muh. Yusuf, Pangeran Diponegoro yang juga bernama Raden Mas Oentowirjo merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, raja ketiga Kesultanan Mataram. Masa mudanya banyak dihabiskan di pesantren, mendalami ilmu kesusasteraan, firasat, ilmu tata negara, bela diri dan kegemarannya menunggang kuda.
Meski dibesarkan di lingkungan keraton, ia lebih memilih kehidupan keagamaan dan berbaur bersama rakyat. Saat akan dinobatkan sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Pangeran Diponegoro menolak dan memilih keluar istana dengan menetap di Tegalrejo.
“Penolakan itu juga didasari ketidaksukaan beliau terhadap ayahnya yang memilih bekerjasama dengan Belanda. Di Tegalrejo, ia lalu menggalang kekuatan bersama rakyat untuk melawan Belanda,” tutur Muh. Yusuf.
Perang Diponegoro pun terjadi pada tahun 1825 sampai 1830. Tetapi, karena kelicikan Belanda, akhirnya ia berhasil ditangkap dan diasingkan ke beberapa tempat. Mulai dari Ungaran, Serang, Batavia (sekarang wilayah Jakarta), Manado hingga menutup usia di Makassar.
“Beliau memang sangat menentang Belanda. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat ‘Teruskan perjuanganku, bersihkan negara dari setiap kutu-kutu penjajah,” ujarnya. [Sapriadi Pallawalino/Foto-foto: Ayatullah R. Hiba]
Makam Pangeran Diponegoro
Lokasi : Jln. Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo (sekitar empat kilometer sebelah utara Lapangan Karebosi)
Akses ke lokasi : Dapat diakses dengan angkutan umum, taksi maupun fasilitas yang disediakan hotel.
Tarif masuk : Pengunjung tidak dikenai biaya. Hanya tersedia kotak yang amal yang bisa diisi secara sukarela
Waktu buka : Pukul 08.00 sampai 17.00
Komentar
Posting Komentar