Nonton Bareng ‘Sang Pencerah’ Pemuda Muhammadiyah Sulsel

FENOMENA film ‘Sang Pencerah’ yang berkisah tentang perjuangan perintis perkumpulan Muhammadiyah, Muhammad Darwis yang lebih dikenal dengan nama K. H. Ahmad Dahlan, disambut antusias jajaran pengurus Muhammadiyah Sulsel.

Sejak film yang disutradarai Hanung Bramantyo tersebut dirilis awal September lalu, mereka telah beberapa kali mengadakan nonton bareng dengan berbagai komponen masyarakat, baik sesama anggota Muhammadiyah, maupun dengan elemen masyarakat lainnya, termasuk aktivis mahasiswa, ormas, OKP, LSM, NGO, para santri serta kalangan jurnalis.

“Film ini sekaligus meluruskan persepsi masyarakat tentang Muhammadiyah serta pembelajaran dari keteladanan sosok K. H. Ahmad Dahlan bagi generasi muda Islam, termasuk Pemuda Muhammadiyah, yang harus melewati berbagai hadangan dalam merintis suatu perubahan dan merubah pola pikir masyarakat untuk memahami Islam yang sebenarnya,” terang Muh. Alwi Uddin, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel, usai nonton bareng film ‘Sang Pencerah’, Kamis 23 September 2010 di Bioskop 21, Makassar Town Square.

Film berdurasi sekitar dua jam ini dibuka dengan suasana Kauman, Yogyakarta sekitar tahun 1868. Di tengah kehidupan masyarakat yang memprihatinkan di bawah belenggu penjajahan, penerapan ajaran Islam justru jauh menyimpang dari Al Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Ritual-ritual animisme dan dinamisme masih kental mewarnai kehidupan umat Islam.

1 Agustus 1868, khatib Imam Mesjid Gede Kauman, Kyai Abu Bakar, melahirkan putra bernama Muhammad Darwis yang kelak melanjutkan perjuangannya menyebarkan ajaran Islam. Keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam yang masih dipengaruhi ritual-ritual animisme dan dinamisme serta mengarah bid’ah, menggugah jiwa Muhammad Darwis untuk lebih memperdalam pengetahuan Islam. Di usia 20 tahun, Muhammad Darwis berhaji ke Mekkah dan memperdalam ajaran Islam selama lima tahun di tanah suci.

Berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, ia kemudian kembali ke tanah air dan membawa pencerahan bagi umat Islam di Yogyakarta. Konflik muncul saat ia berusaha meluruskan beberapa pandangan keliru umat Islam mengenai kiblat dan ritual-ritual yang menyimpang dari Al Qur’an dan sunnah Rasul. Akibatnya, ia harus menghadapi berbagai hadangan dan tantangan, termasuk saat Langgar Kidoel yang dijadikan pusat pengajian bagi murid-muridnya dirobohkan. Juga, dituduh sebagai kyai kafir.

Meski sempat putus asa dan menyerah, namun dukungan dari sang istri, Siti Walidah dan murid-muridnya, membuat Ahmad Dahlan tegar hingga pada 12 November 1912 mendeklarasikan Perkumpulan Muhammadiyah, sebagai organisasi keagamaan yang bergerak di bidang sosial, pendidikan dan kesehatan.

Film yang dibintangi beberapa aktor dan artis ternama ini, antara lain Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Sujiwo Tedjo, Giring Nidji, Zaskia Adya Mecca dan sederet artis top lainnya, juga banyak mengangkat sisi lain Ahmad Dahlan. Termasuk kegemarannya memainkan alat musik londo, sejenis biola (yang oleh sebagian kyai pada masa itu dianggap tabu sebab merupakan benda buatan orang kafir), keterlibatan di berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan seperti Boedi Oetomo hingga dari segi penampilan yang klimis dan rapi, sekaligus memupus kesan kyai pada masa itu sebagai seorang yang kolot.

“Film ini bisa menjadi gambaran bagi generasi muda Islam bahwa tidak mudah untuk merintis suatu perubahan. Selain itu, juga mengajarkan bahwa salah satu aspek terpenting bagi seorang pemimpin adalah pendidikan nilai-nilai agama yang benar,” tandas Alwi. [Sapriadi Pallawalino/Foto: www.inspiredground.blogspot.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar