Keran Reformasi Ubah Perilaku Politik Masyarakat Etnik Tionghoa di Makassar

(Hasil Penelitian untuk Jenjang Magister Asdar Muis RMS)

Pada masa Orde Baru, masyarakat etnik Tionghoa di Indonesia sangat merasakan ketidakadilan. Ruang gerak mereka terkungkung dan diperlakukan secara diskriminatif, termasuk dalam bidang politik dan budaya (cultural).

----------------------------------------

Diskriminasi politik dan budaya itu misalnya tampak pada peraturan ganti nama yang diatur dalam Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966, Inpres No. 14/1967 yang mengatur perayaan keagamaan/tradisi yang dibatasi hanya di lingkungan sendiri (bukan tempat umum), pengenaan Surat Bukti Kewarnegaraan Republik Indonesia (SKBRI), pemberian kode khusus pada KTP yang berbeda dan sebagainya. Bahkan, dibuat satu badan intelijen khusus yang bertugas mengawasi masalah Tionghoa, yaitu Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC), suatu penamaan yang mengesankan bahwa keberadaan Tionghoa di Indonesia merupakan masalah.

“Hal ini, menimbulkan sikap ekslusif, apatis dan isolatif bagi masyarakat etnik Tionghoa dalam dunia politik di Indonesia, termasuk di Makassar. Apalagi, deraan berupa trauma politik yang dialami masyarakat etnik Tionghoa di masa Orde Baru semakin mempertegas sikap ekslusif mereka, tidak hanya di bidang politik, tetapi merambah ke bidang budaya,” ungkap Asdar Muis memaparkan hasil penelitiannya dalam ujian untuk jenjang Magister Jurusan Sosiologi Program Pascasarjana Unhas yang berlangsung di Gedung Fakultas Ilmu Sosial VIII Ruang B2, Unhas, Rabu (24/6) lalu.

Deraan trauma terhadap sejumlah peristiwa seperti pengganyangan terhadap komunitas Tionghoa yang dipicu insiden Toko La pada tahun 1980, Insiden September 1997, hingga tragedi 13 – 14 Mei 1998 yang telah meluluhlantakkan ribuan ruko, toko, bangunan-bangunan dan kendaraan bermotor masyarakat etnik Tionghoa, lanjut Asdar, membuat mereka semakin terkucil dan membatasi gerak hanya di dunia bisnis.

Namun, angin perubahan perlahan berembus ketika pada akhir Mei 1998, rezim Orde Baru tumbang, dan era Reformasi yang diproklamirkan perlahan membuka pintu-pintu demokrasi Indonesia yang terpenjara selama 32 tahun.

Sikap ekslusif, apatis dan isolatif masyarakat etnik Tionghoa di bidang politik juga perlahan terkikis. Mereka kemudian mulai merambah dunia politik. Pada Pemilu 1999, selain membentuk partai sendiri seperti Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dan Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBTI), mereka juga bergabung di partai-partai nasional, seperti di PDIP, Partai Golkar, PAN dan sebagainya.

Di Makassar, masyarakat etnik Tionghoa pun tidak ketinggalan melibatkan diri dalam berpolitik. Arwan Tjahjadi, menjadi pelopor dan satu-satunya wakil masyarakat etnik Tionghoa yang memberanikan diri maju pada Pemilu 1999 melalui Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan berhasil menjadi anggota DPRD Kota Makassar. Langkah Arwan Tjahjadi kemudian membuka mata masyarakat etnik Tionghoa lainnya, sehingga pada Pemilu 2004 lalu ada 12 orang Tionghoa yang maju sebagai calon anggota legislatif (caleg), meskipun kemudian hanya satu yang terpilih.

Sikap keterbukaan di dunia politik masyarakat etnik Tionghoa semakin jelas pada perhelatan Pilkada Sulsel 2007 lalu. Selain menyalurkan hak pilih, beberapa di antara mereka juga menjadi tim sukses salah satu kandidat, aktif memantau Daftar Pemilih Tetap (DPT) serta menjadi petugas KPPS dan TPS. Namun demikian, keterlibatan masyarakat etnik Tionghoa dalam politik praktis masih terbatas pada figur-figur muda, sementara para sesepuh dan orang tua masih terkesan apatis akibat trauma.

Di akhir pemaparannya, Asdar menilai, perubahan perilaku politik sebagian masyarakat etnik Tionghoa ini diakibatkan adanya arus demokratisasi pasca Orde Baru yang mendorong motivasi mereka aktif di dunia politik, termasuk motivasi untuk penguatan dunia bisnis dan hidup harmonis dengan masyarakat lainnya.

Dalam ujian hasil penelitiannya yang dihadiri beberapa mahasiswa dan mahasiswi Unhas, aktivis dan jurnalis, Asdar sempat dicecar sejumlah pertanyaan oleh tim penguji yang terdiri dari Prof. T. R. Andi Lolo, Ph. D, sebagai ketua dewan penguji, Dr. H. M. Darwis, MS, DPS sebagai sekretaris, dan anggota masing-masing Prof. Drs. H. A. R. Hafiedz, MS dan Dr. H. Mahmud Tang, MA. Namun, semua pertanyaan itu mampu dijawab dengan lugas oleh Asdar dan tetap mempertahankan hasil penelitiannya.

“Asdar lulus dengan nilai A Plus dalam ujian tertutup pada 2 Juli lalu. Seandainya Asdar bisa menyelesaikan lebih cepat dua semester yang lalu, maka dia layak mendapat predikat cum laude”, jelas salah satu tim penguji, Andi Lolo. [Sapriadi Pallawalino]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar