Pelajari Budaya Bugis-Makassar

Iwata Go, Mahasiswa Kyoto University

Kebudayaan Indonesia selalu menarik untuk dikaji. Keunikan dan keanekaragaman budaya tiap suku di Indonesia merupakan magnet bagi wisatawan mancanegara untuk mengunjungi negeri seribu pulau ini. Maka, bukan suatu pemandangan aneh, jika pada beberapa kegiatan kebudayaan dan upacara adat, muka-muka asing turut hadir menyaksikan kegiatan dan upacara tersebut.

Seperti halnya yang terjadi pada upacara adat Tammu Taunna Gaukanga Karaeng Galesong ke-248 di Desa Galesong Kota, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, pertengahan Juli lalu. Dibalut pakaian adat khas Bugis-Makassar, sosok bertubuh putih, mata sipit dan tinggi tegap itu antusias mengikuti setiap rangkaian prosesi adat. Sesekali, handycam dan kamera saku yang dibawanya diarahkan untuk menangkap momen-momen tertentu.

Namanya, Iwata Go. Pria berusia 26 tahun asal Jepang itu mengaku sudah beberapa minggu tinggal di Galesong untuk melakukan penelitian mengenai antropologi budaya Bugis-Makassar. “Saya sudah hampir sebulan berada di Galesong untuk melakukan penelitian. Sebelumnya, saya sudah melakukan penelitian mengenai komunitas tolotang di Kabupaten Wajo dan Sidrap,” kata Iwata Go yang fasih berbahasa Indonesia.

Menurutnya, ada kesamaan cara pandang antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Indonesia, khususnya Bugis-Makassar dalam mengekspresikan rasa malu dalam kehidupannya yang oleh orang Bugis-Makassar disebutnya sebagai ‘siri’. Orang Bugis-Makassar juga masih memegang teguh adat dan tradisi di tengah gempuran arus modernisasi. “Yang menarik bagi saya adalah prinsip siri na pacce’, budaya yang menjujung tinggi harga diri di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Prinsip ini hampir sama dengan harakiri yang ada di Jepang,” jelas Iwata.

Selain di Wajo, Sidrap dan Galesong, Iwata mengaku akan mengunjungi beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan untuk melengkapi penelitiannya mengenai kebudayaan Bugis-Makassar. “Rencananya, saya masih akan menetap selama satu tahun,” tutup Iwata, tersenyum. (Sapriadi Pallawalino)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar