Mengembalikan Kejayaan Kopi Kalosi Enrekang

Enrekang, merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Terletak di jantung jazirah Sulawesi Selatan dengan kondisi alam berupa daerah pegunungan, membuat daerah yang memiliki luas sekira 1.786,01 km persegi ini kaya akan hasil alam sehingga potensial untuk pengembangan agrobisnis.

BAGI Anda penikmat kopi, mungkin sudah tidak asing lagi dengan kopi Kalosi? Kopi yang konon mempunyai aroma dan cita rasa khas serta diyakini sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, merupakan salah satu komoditi unggulan Kabupaten Enrekang. Kopi jenis Arabica typica yang hanya bisa dibudidayakan pada daerah ketinggian 1.500 di atas permukaan laut itu bahkan menjadi kopi langka dan tertua di dunia. Di Indonesia, jenis kopi ini hanya bisa tumbuh di Kabupaten Enrekang.

“Sejak beberapa tahun silam, kopi Kalosi sudah terkenal bahkan diekspor hingga ke luar negeri dengan harga tinggi, seperti ke Jerman, Jepang dan Amerika. Kopi ini disukai di luar negeri karena rasa dan aromanya yang khas,” ungkap Bupati Enrekang, H. La Tinro La Tunrung didampingi Wakil Bupati Nurhasan, Sekda M. Amiruddin dan para kepala SKPD saat menerima para wartawan yang tergabung dalam rombongan PWI Cabang Sulawesi Selatan, di pendopo rumah jabatan, beberapa waktu lalu.

Pengembangan kopi Arabica typica di Enrekang dilakukan sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, di antara tahun 1725 sampai 1780, Pemerintah Belanda melalui VOC memonopoli perdagangan kopi dunia. Mereka melakukan penanaman kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Selanjutnya, mereka melebarkan sayap dengan menanam kopi di luar Pulau Jawa, seperti di Sulawesi, Sumatera dan Bali. Di Sulawesi, tepatnya di wilayah Kabupaten Enrekang saat ini, penanaman kopi Arabica typica mulai ditanam tahun 1750. Dengan menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), VOC menangguk keuntungan besar dari perdagangan kopi tersebut.

Sayangnya, perkebunan kopi Arabica typica tersebut sebagian besar hancur saat penyakit daun kopi menyerang Indonesia. Sehingga, kopi jenis ini sempat hilang di pasaran dan dianggap punah.

“Tetapi, dua tahun lalu, di beberapa wilayah di Kabupaten Enrekang masih ditemukan beberapa pohon kopi Arabica typica. Saat ini, tercatat hanya ada sekira 13.200 pohon kopi Arabica typica yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Bungin, Buntubatu, Masalle, Baraka dan Baroko, sehingga pengembangannya dilakukan secara terbatas,” imbuh Kadis Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Enrekang, H. Rusdianto didampingi Kabid Perkebunan, Umar Sappe, kepada rombongan wartawan saat melakukan observasi di beberapa daerah perkebunan kopi di Bumi Massenrempulu tersebut.

Komoditi kopi Kabupaten Enrekang lainnya adalah jenis kopi Arabica lineage. Kopi jenis ini bisa tumbuh pada ketinggian 700 – 1.000 m di atas permukaan laut. Berbeda dengan jenis kopi Arabica typica, jenis kopi yang lebih dikenal sebagai kopi Arabica biasa ini, dikembangkan masyarakat secara luas dan diperdagangkan secara umum.

Pusat perdagangan kopi jenis ini dapat dijumpai di Pasar Sudu, Kelurahan Kambiolangi, Kecamatan Alla.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Enrekang tahun 2008, luas areal produksi kopi Arabica seluas 11.515,50 Ha yang diusahakan oleh 16.657 KK atau sekira 81.680 jiwa (45 persen penduduk Kabupaten Enrekang) dengan jumlah produksi mencapai 5.122,3 ton.

Perkebunan kopi yang dikembangkan oleh rakyat ini tersebar di beberapa kecamatan, yakni Kecamatan Bungin, Baraka, Alla, Buntu Batu, Curio, Masalle, Baroko dan sebagian kecil di wilayah Kecamatan Enrekang, Malua dan Anggeraja.

Pengembangan Specialty Coffee Kalosi

Dalam rangka menyelamatkan dan mengembalikan kejayaan kopi Kalosi, Pemkab Enrekang tidak tinggal diam dan gencar melakukan berbagai cara. Sejak 2007 lalu, Pemkab bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar melakukan kegiatan pembibitan sambung pucuk pohon kopi Arabica typica dan pembangunan kebun induk benih seluas 30 ha di Desa Sawitto, Kecamatan Bungin yang juga dipersiapkan sebagai sentra pengembangan specialty coffee Kalosi.

Langkah tersebut dilakukan untuk menyediakan benih tanaman kopi bermutu dan menjaga keaslian kopi Kalosi. Sebab, disinyalir selama ini ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab mencampur kopi Kalosi dengan jenis kopi lain sehingga menghilangkan kepercayaan pasar.

Upaya lainnya adalah intensifikasi dan perluasan tanaman kopi, pembinaan petani dan penguatan kelompok tani melalui petugas pendamping, pengadaan sarana dan prasarana serta paket teknologi yang bebas dari bahan kimia.

Diakui Umar, salah satu permasalahan dalam pengembangan kopi Kalosi adalah pembudidayaan yang masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat setempat dan belum sepenuhnya menerapkan teknologi budidaya tanaman kopi.

“Akibat penanganan on farm dan off farm yang belum memadai, produk yang dihasilkan didominasi biji asalan sehingga berpengaruh terhadap rendahnya mutu kopi. Di samping itu, diversifikasi produk kopi olahan belum berkembang, sehingga dengan keberadaan petugas pendamping, para petani tergerak untuk menerapkan teknologi budidaya tanaman kopi secara modern,” tambah Umar Sappe.

Upaya lain yang ditempuh Pemkab Enrekang adalah menjalin kerjasama dengan pihak swasta melalui ujicoba rasa menjadi kopi bubuk dan sari kopi.

“Oleh karena itu, saat ini kami sementara mengurus hak paten kopi Kalosi. Dengan adanya hak paten tersebut, kami bisa memasarkan kopi dengan brand specialty coffee Kalosi DP sebagai ikon kopi dan brand mark Kabupaten Enrekang sehingga mampu membangun kembali citra kopi Kalosi yang terkenal di luar negeri. Kami juga tengah memikirkan pembangunan agrowisata kopi,” imbuh Umar.

Sejenak, saya membayangkan, jika kelak para wisatawan yang mengunjungi Enrekang, bisa menikmati sajian kopi Kalosi sambil menikmati keindahan panorama Gunung Nona. Sungguh, sebuah sensasi tersendiri. [Sapriadi Pallawalino]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar