Catatan dari Diskusi Hipermawa
Pengurus Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Wajo (Hipermawa), menggelar diskusi bertemakan peran oposisi organisasi daerah dalam mengawal transisi demokrasi di tengah dekapan feodalisme, Jum’at malam, 13 November di Warkom Mammi, Jln. Monginsidi, Makassar. Diskusi ini sekaligus dirangkaikan dengan pelantikan dan raker Hipermawa Koperti Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI).
Pembantu Rektor III UVRI, Saifuddin Al Mughiny selaku pembicara, mengungkapkan, feodalisme merupakan salah satu bentuk budaya yang sangat sulit untuk berubah dan cenderung mempertahankan kultur masa lalu. Dalam masyarakat Bugis-Makassar, feodalisme itu tergambar dengan masih kuatnya pengaruh kebangsawanan di beberapa daerah di Sulsel.
“Budaya feodalisme menghambat perkembangan demokrasi dan percepatan reformasi. Jika demokrasi berbicara tentang keterbukaan, maka sebaliknya feodalisme identik dengan keterkungkungan. Di masyarakat Bugis – Makassar, budaya feodalisme ini masih sangat kental, termasuk di wilayah Bone, Soppeng, Wajo dan Sinjai (Bosowasi),” imbuh Saifuddin.
Sehingga, kata Dosen Sosial Politik (Sospol) UVRI tersebut, diperlukan aktualisasi peran organisasi daerah (organda) dalam mengawal transisi demokrasi. Salah satunya, melalui lembaga kemahasiswaan yang merupakan salah satu pilar kekuatan dalam membangun demokrasi. “Sayangnya, pasca insiden 21 Mei 1998, lembaga kemahasiswaan yang termasuk middle class dalam membangun tatanan demokrasi justru melemah. Beberapa aktivis mahasiswa terjungkal pada kelompok hedon dan oportunis. Bahkan, terjebak dalam budaya amplop,” kilah Saifuddin.
Masalahnya sekarang, imbuh Saifuddin, mampukah Hipermawa sebagai salah satu organisasi daerah menjadi penyeimbang, penekan dan oposisi di daerah? “Wajo sulit bicara demokrasi jika Hipermawa melemah. Oleh karena itu, Hipermawa harus mampu memainkan dua peran sekaligus. Selain menjadi mitra bagi pemerintah daerah dalam mengawal agenda pembangunan dan percepatan reformasi di Wajo, juga harus berani tampil sebagai oposisi sekaligus memberi social control dalam ranah pengambilan keputusan dan kebijakan Pemerintah Daerah,” imbuhnya.
Diakui Saifuddin, mengutip pernyataan budayawan Nasional, Emha Ainun Nadjib bahwa Indonesia masih belajar berdemokrasi. Dibandingkan dengan negara lain, konsep oposisi di Indonesia masih kabur dan masih berada dalam masa transisi. “Membangun demokrasi masih sulit jika pemerintahan masih menganut distribution of power. Sebaliknya, harus ada revolusi sosial, termasuk penerapan pemerintahan yang jujur dan bersih,” tandas Saifuddin.
Masih Kental
Sementara itu, Ketua Hipermawa Pusat, Harmansyah, mengakui jika beberapa fenomena-fenomena yang terjadi di Wajo, baik itu dalam kehidupan sosial bermasyarakat maupun pemerintahan, masih kental dengan budaya feodalisme. Padahal, kata dia, jika merujuk ke sejarah, Wajo pernah menjadi kerajaan yang menjunjung tinggi asas demokrasi.
“Semboyan Maradeka To Wajoe, Ade’na Napopuang adalah salah satu parameter Wajo pernah menjadi basis demokrasi. Parameter lainnya adalah pemilihan Arung Matowa (gelar untuk Raja Wajo) bukan melalui pemilihan langsung, melainkan melalui hasil musyawarah Arung Patappulo. Dalam perumusan dan penetapan hukum adat, juga dilakukan melalui musyawarah. Sayangnya, sejak tahun 1970-an, demokrasi di Wajo perlahan tergerus oleh budaya feodalisme,” ujar mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini.
Dikatakan Harmansyah, keinginan untuk menjadikan Hipermawa sebagai oposisi dan control social terhadap pemerintah daerah sebenarnya sudah sejak lama diidamkan. “Permasalahannya sekarang, kedaulatan finansial kita masih sangat bergantung dari bantuan Pemda. Padahal, kedaulatan politik dan oposisi hanya bisa maksimal jika kedaulatan finansial terpenuhi. Makanya, ke depan, kami bertekad untuk tak terlalu bergantung pada bantuan dana Pemda,” tandas Harmansyah.
Diskusi ini juga dihadiri Pembina Hipermawa Koperti UVRI, Baso Djunaid dan sekira 30-an mahasiswa Wajo yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Makassar. (*)
Komentar
Posting Komentar