![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPu94oK2Bn9u4aNB76XG-SYfhW1J59L3M0A1EWPwn651X55Jp6go681PFuYIujN-31oY5dklIKOYBZgOfo3ITDiM5Lh8wK2klhflEupwmLVAxzHv2bsdXHqsm_GZakNQA8jH8D5aUac7hA/s200/DSC_0105.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjBvbZ43dn2L_ku-DDfuCRX8Td7NZV9ApOCpkwdxpuWsI8DdNyouF-KId68-qXqOsGnlr6RsgrQJqgvSxkgV5VOIseu93ZHqMbJ6pOQ_MO34hyewdASZ7f9GphjR838KEKEjXiZcM7EQdf/s200/SANY1653.jpg)
Keindahan dan keunikan ikan koi tidak hanya memikat penghobi dari kalangan dewasa. Anak-anak kecil pun dibuat jatuh hati dengan ikan asal Negeri Sakura tersebut.
---------------------------------------
Jam dinding di kantor menunjukkan pukul 17.00. Tak seperti biasanya, usai check lock, penulis langsung bergegas pulang ke rumah. Sore itu, Jum’at, 22 Januari, penulis telah membuat janji wawancara dengan salah satu pengusaha ikan koi di ranah Kota Daeng ini.
Namun, sore itu, lagi-lagi macet di ruas Jln. Sultan Alauddin, menghambat perjalanan, tepatnya di depan Pasar Pabaeng-baeng. Sekitar 15 menit kemudian, penulis akhirnya sampai di salah satu rumah, yang dikelilingi tembok pagar tinggi. Di pintu gerbang, sebuah lukisan beberapa ikan koi berlatar biru begitu mencolok. Di bagian tengah pintu gerbang, sebuah bel yang menjadi isyarat bagi tamu yang akan berkunjung.
Sejenak, beberapa detik setelah memencet tombol bel, pintu gerbang dibuka. Dari dalam, seorang bocah menghampiri penulis. “Cari siapa, Kak? Bapakku tidak ada karena lagi keluar. Kalau mau beli ikan, masuk mi lihat-lihat dulu,” sapa seorang bocah kepada penulis sambil menenteng bola.
Penulis bergegas masuk. Mengamati setiap sudut tempat penangkaran ikan koi yang terletak di halaman rumah sang pemilik. Terdapat sepuluh kolam, dengan berbagai ukuran dan jenis ikan koi. “Ini ikan Tancho saya yang pernah menang kontes di Jakarta,” sambung bocah yang bernama Rheinald (5 tahun), sambil menunjuk salah satu ikan koi di kolam.
Dia kemudian mengajak penulis melihat ikan-ikan koi tersebut di kolam lainnya. Dengan lincah dan polos, ia bercerita tentang kesukaannya terhadap ikan koi. “Saya suka ikan koi karena bintiknya cantik-cantik dan lucu. Tapi kalau Bapak ikut kontes di mal-mal, saya tidak dikasih ikut karena selalu minta dibelikan sesuatu,” ujarnya dengan gaya khas kanak-kanak.
Sang kakak, Ricardo (12 tahun), kemudian menghampiri penulis. “Iya kak, saya dan adik memang suka ikan koi dan sering memberi makan ikan bersama-sama. Selain itu, Bapak juga sering mengawinkan ikan koi di sini,” jelas siswa kelas I SMP Katolik Rajawali itu. Keduanya adalah putra David, salah seorang pengusaha ikan koi di Makassar.
Ikan koi yang dikawinkan, lanjut Ricardo, dipisahkan ke dalam kolam tertentu. Dalam proses tersebut, tiga ekor ikan koi jantan ditempatkan satu kolam dengan seekor ikan koi betina. Sebelum dikawinkan, ikan koi itu disuntik terlebih dahulu. “Nggak tahu juga kak. Mungkin biar ikannya sehat,” ujar Ricardo polos, saat ditanya perihal penyuntikan terhadap ikan yang akan dikawinkan.
Menurut Ricardo, sepulang sekolah, dia selalu bermain-main di sekitar kolam tempat penangkaran ikan koi bersama adiknya. Sebelum dan setelah pulang sekolah, dia selalu memberi makan ikan-ikan koi tersebut. “Tapi kalau ada kolam ikan yang lagi kosong, biasa kami jadikan kolam renang,” ujar Ricardo, yang kelak bercita-cita menjadi pengusaha ikan koi., mengikuti jejak ayahnya. [Sapriadi Pallawalino]
Keterbatasan bukan menjadi penghalang menggapai kesuksesan. Malah, banyak figur sukses yang meniti karir dan usahanya dari bawah. Memulai dari nol, mereka harus jatuh bangun melewati berbagai hambatan untuk berjuang meraih mimpi. Mereka menerobos keterbatasan yang ada pada diri mereka dan menjadikan kekuatan dalam menggapai kesuksesan.
Direktur Utama Fajar Grup, H. M. Alwi Hamu, mengaku pernah berdagang kue semasa SMP untuk membantu orangtua membiayai sekolahnya. “Mencapai kesuksesan memang tidak mudah. Agar bisa sukses, kita harus memiliki semangat yang tinggi untuk meraih apa yang diinginkan. Mendahulukan harapan dan cita-cita daripada perasaan, rasa malu, dan bangga akan diri sendiri,” ujar Alwi saat menjadi pembicara pada seminar “Reaching Your Destiny”, Sabtu 28 November lalu di Clarion Hotel and Convention,
Alwi juga mengisahkan perjalanan hidupnya dalam meniti karir hingga sukses mengembangkan Fajar sebagai harian terkemuka di Indonesia Timur. “Awal merintis Fajar, kami harus jatuh bangun untuk biaya percetakan dan kelangsungan penerbitan. Bahkan juga sempat dituding sebagai pencuri. Namun, hambatan itu malah memotivasi untuk terus berkembang,” kata Alwi yang sejak SD sudah bercita-cita menjadi penulis.
Pengalaman serupa dialami Anggiat Sinaga dalam meniti karir. General Manager Clarion Hotel and Convention ini sempat merasakan hidup sebagai petugas pencatat meteran listrik, penjual sayur, petugas pengisian pom bensin hingga tukang kebun. “Namun, sikap pantang menyerah terus memacu saya untuk tidak berputus asa,” kisah Anggiat.
Sementara itu, General Manager CV. Makassar Indomedia, Adhi Santoso, juga pernah merasakan pahitnya kehidupan dalam perjalanan hidupnya. Masa sulit dalam kehidupan keluarga mewarnai masa kecilnya. “Kegetiran hidup di masa kecil tersebut yang menjadi motivasi saya untuk maju dan mengembangkan usaha sendiri secara mandiri,” kata Adhi yang bergelut di bidang penerbitan media dan percetakan.
Di bawah naungan CV. Makassar Indomedia, ia sukses menerbitkan beberapa media, di antaranya Makassar Terkini, Pecinan Terkini, Iklan Terkini dengan percetakan sendiri, Percetakan Bintang.
Selain ketiga pembicara tersebut, seminar yang diselenggarkan Radiant English ini juga menghadirkan pembicara lain, yakni Tung Desem Waringin, Julianto Eka Putra, H. Ilham Arief Sirajuddin, Jonathan L. Parapak, Jimmy B. Oentoro, Lanny Rusdi, Ariella Sinjaya serta Mawardi Jafar, dan diikuti seratusan peserta.
"Para pembicara ini dihadirkan bukan untuk menunjukkan apa yang mereka raih, tetapi agar mereka bisa berbagi bagaimana meraih kesuksesan dengan menaklukkan keterbatasan dan segala tantangan yang ada," sebut Ariella Sinjaya, pendiri dan Direktur Radiant English. [Sapriadi Pallawalino]
Hui Giok Kem, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Sesekali, senyum sumringah mengembang di wajah nenek berusia 77 tahun itu. Di usia senja, ia akhirnya meraih impiannya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), sesuatu yang telah didambanya sejak lama. Saat namanya dipanggil, dengan langkah tergopoh-gopoh, warga Parepare itu maju menerima SK penegasan kewarganegaraan RI yang diserahkan langsung Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sulsel, Drs. Syamsul Bachri, S.H, Selasa 8 Desember lalu di aula Kanwil Depkumham Sulsel.
Tak hanya Hui, 31 warga Tionghoa lainnya pun merasakan kebahagiaan yang sama. Mereka berasal dari berbagai kota di
“Kita patut berterima kasih terhadap keterbukaan Pemerintah saat ini. Dulu, sebelum Reformasi, kita sangat susah untuk mendapatkan
Padahal, kata dia, meski kerap mendapatkan diskriminasi, namun para warga Tionghoa sudah merasa sebagai bagian bangsa Indonesia. “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Di mana kami mencari hidup, di situlah kami berbakti,” kata Ruddy yang disambut aplaus para undangan.
Pada kesempatan yang sama, Kakanwil Depkumham Sulsel, Drs. Syamsul Bachri, S.H, menyatakan bahwa Pemerintah saat ini memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para pemukim untuk menjadi WNI. “Pemberian status pemukim menjadi WNI merupakan salah satu program 100 hari Kementrian Hukum dan HAM. Bagi yang ingin mendapatkan permohonan status WNI secara gratis, diberi kesempatan mendaftar hingga 28 Januari 2010. Selepas itu, maka akan dibebankan pembayaran,” jelas Syamsul.
Penyerahan SK penegasan status WNI ini juga dihadiri Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar, Kepala Biro Hukum dan HAM Sulsel, pengurus PSMTI Sulsel dan Makassar serta pengurus yayasan-yayasan Tionghoa. “Penyerahan SK WNI ini merupakan hasil kerjasama Depkumham, PSMTI Sulsel dan pengurus yayasan-yayasan Tionghoa. Ini merupakan realisasi tahap kedua setelah pada tahap pertama diberikan kepada 65 orang,” ungkap Saiman Sutanto, Sekretaris PSMTI Sulsel. [Sapriadi Pallawalino]
Enrekang, merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Terletak di jantung jazirah Sulawesi Selatan dengan kondisi alam berupa daerah pegunungan, membuat daerah yang memiliki luas sekira 1.786,01 km persegi ini kaya akan hasil alam sehingga potensial untuk pengembangan agrobisnis.
BAGI Anda penikmat kopi, mungkin sudah tidak asing lagi dengan kopi Kalosi? Kopi yang konon mempunyai aroma dan cita rasa khas serta diyakini sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, merupakan salah satu komoditi unggulan Kabupaten Enrekang. Kopi jenis Arabica typica yang hanya bisa dibudidayakan pada daerah ketinggian 1.500 di atas permukaan laut itu bahkan menjadi kopi langka dan tertua di dunia. Di Indonesia, jenis kopi ini hanya bisa tumbuh di Kabupaten Enrekang.
“Sejak beberapa tahun silam, kopi Kalosi sudah terkenal bahkan diekspor hingga ke luar negeri dengan harga tinggi, seperti ke Jerman, Jepang dan Amerika. Kopi ini disukai di luar negeri karena rasa dan aromanya yang khas,” ungkap Bupati Enrekang, H. La Tinro La Tunrung didampingi Wakil Bupati Nurhasan, Sekda M. Amiruddin dan para kepala SKPD saat menerima para wartawan yang tergabung dalam rombongan PWI Cabang Sulawesi Selatan, di pendopo rumah jabatan, beberapa waktu lalu.
Pengembangan kopi Arabica typica di Enrekang dilakukan sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, di antara tahun 1725 sampai 1780, Pemerintah Belanda melalui VOC memonopoli perdagangan kopi dunia. Mereka melakukan penanaman kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Selanjutnya, mereka melebarkan sayap dengan menanam kopi di luar Pulau Jawa, seperti di Sulawesi, Sumatera dan Bali. Di Sulawesi, tepatnya di wilayah Kabupaten Enrekang saat ini, penanaman kopi Arabica typica mulai ditanam tahun 1750. Dengan menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), VOC menangguk keuntungan besar dari perdagangan kopi tersebut.
Sayangnya, perkebunan kopi Arabica typica tersebut sebagian besar hancur saat penyakit daun kopi menyerang Indonesia. Sehingga, kopi jenis ini sempat hilang di pasaran dan dianggap punah.
“Tetapi, dua tahun lalu, di beberapa wilayah di Kabupaten Enrekang masih ditemukan beberapa pohon kopi Arabica typica. Saat ini, tercatat hanya ada sekira 13.200 pohon kopi Arabica typica yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Bungin, Buntubatu, Masalle, Baraka dan Baroko, sehingga pengembangannya dilakukan secara terbatas,” imbuh Kadis Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Enrekang, H. Rusdianto didampingi Kabid Perkebunan, Umar Sappe, kepada rombongan wartawan saat melakukan observasi di beberapa daerah perkebunan kopi di Bumi Massenrempulu tersebut.
Komoditi kopi Kabupaten Enrekang lainnya adalah jenis kopi Arabica lineage. Kopi jenis ini bisa tumbuh pada ketinggian 700 – 1.000 m di atas permukaan laut. Berbeda dengan jenis kopi Arabica typica, jenis kopi yang lebih dikenal sebagai kopi Arabica biasa ini, dikembangkan masyarakat secara luas dan diperdagangkan secara umum.
Pusat perdagangan kopi jenis ini dapat dijumpai di Pasar Sudu, Kelurahan Kambiolangi, Kecamatan Alla.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Enrekang tahun 2008, luas areal produksi kopi Arabica seluas 11.515,50 Ha yang diusahakan oleh 16.657 KK atau sekira 81.680 jiwa (45 persen penduduk Kabupaten Enrekang) dengan jumlah produksi mencapai 5.122,3 ton.
Perkebunan kopi yang dikembangkan oleh rakyat ini tersebar di beberapa kecamatan, yakni Kecamatan Bungin, Baraka, Alla, Buntu Batu, Curio, Masalle, Baroko dan sebagian kecil di wilayah Kecamatan Enrekang, Malua dan Anggeraja.
Pengembangan Specialty Coffee Kalosi
Dalam rangka menyelamatkan dan mengembalikan kejayaan kopi Kalosi, Pemkab Enrekang tidak tinggal diam dan gencar melakukan berbagai cara. Sejak 2007 lalu, Pemkab bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar melakukan kegiatan pembibitan sambung pucuk pohon kopi Arabica typica dan pembangunan kebun induk benih seluas 30 ha di Desa Sawitto, Kecamatan Bungin yang juga dipersiapkan sebagai sentra pengembangan specialty coffee Kalosi.
Langkah tersebut dilakukan untuk menyediakan benih tanaman kopi bermutu dan menjaga keaslian kopi Kalosi. Sebab, disinyalir selama ini ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab mencampur kopi Kalosi dengan jenis kopi lain sehingga menghilangkan kepercayaan pasar.
Upaya lainnya adalah intensifikasi dan perluasan tanaman kopi, pembinaan petani dan penguatan kelompok tani melalui petugas pendamping, pengadaan sarana dan prasarana serta paket teknologi yang bebas dari bahan kimia.
Diakui Umar, salah satu permasalahan dalam pengembangan kopi Kalosi adalah pembudidayaan yang masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat setempat dan belum sepenuhnya menerapkan teknologi budidaya tanaman kopi.
“Akibat penanganan on farm dan off farm yang belum memadai, produk yang dihasilkan didominasi biji asalan sehingga berpengaruh terhadap rendahnya mutu kopi. Di samping itu, diversifikasi produk kopi olahan belum berkembang, sehingga dengan keberadaan petugas pendamping, para petani tergerak untuk menerapkan teknologi budidaya tanaman kopi secara modern,” tambah Umar Sappe.
Upaya lain yang ditempuh Pemkab Enrekang adalah menjalin kerjasama dengan pihak swasta melalui ujicoba rasa menjadi kopi bubuk dan sari kopi.
“Oleh karena itu, saat ini kami sementara mengurus hak paten kopi Kalosi. Dengan adanya hak paten tersebut, kami bisa memasarkan kopi dengan brand specialty coffee Kalosi DP sebagai ikon kopi dan brand mark Kabupaten Enrekang sehingga mampu membangun kembali citra kopi Kalosi yang terkenal di luar negeri. Kami juga tengah memikirkan pembangunan agrowisata kopi,” imbuh Umar.
Sejenak, saya membayangkan, jika kelak para wisatawan yang mengunjungi Enrekang, bisa menikmati sajian kopi Kalosi sambil menikmati keindahan panorama Gunung Nona. Sungguh, sebuah sensasi tersendiri. [Sapriadi Pallawalino]